Hamba yang Merasa Cukup Bersama Allah

02 Feb 2024 • 103 pembaca


Oleh

KH. Bachtiar Nasir

 

 

Bismillahirrohmanirrahiim

 

Surat At-Talaq ayat 3:

 

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

 

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

 

Hidup ini sebenarnya akan berbahagia; tidak perlu merasakan tekanan, tidak perlu dipenuhi dengan kekhawatiran, dan juga tidak perlu ngoyo. Cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, yaitu bertawakal kepada Allah Ta’ala sebelum berikhtiar, ketika sedang berikhtiar, dan setelah berikhtiar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

 

1. Saat merencanakan/ membuat planning, bertawakallah kepada Allah. Jangan sombong akan kemampuan diri dan jangan mendahului Allah Ta’ala. Bersandarlah kepada Allah.

 

2. Jalankan planning dan bila dalam proses pelaksanaannya terdapat temuan-temuan baru, maka tetaplah dalam koridor ketawakalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa, yang mengizinkan semua itu terjadi adalah Allah.

 

3. Boleh menetapkan target, tetapi tidak boleh melampaui keimanan kita terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Hasilnya tidak usah mendikte Allah; berapanya, bagaimana, dan kapannya. Juga jangan mengeluh bila terasa begitu terlambat. Bersabarlah karena Allah Swt sesungguhnya tidak pernah telat, hanya saja kita yang banyak menuntut. Hal ini terbukti dengan tidak pernah terlambatnya matahari bersinar, meski kita dalam keadaan malas bangun sekali pun.

 

InsyaAllah, semuanya akan menemui akhirnya, baik maupun buruk; semuanya adalah hasil yang Allah kehendaki dan harus diterima.

 

Oleh karena, sebenarnya hidup kita sudah lengkap manakala menjalaninya dengan tawakal. Merasa cukup dengan adanya Allah Ta’ala. Merasa cukup dengan menerima apa pun ketentuan yang Allah berikan. Tanpa merasa cukup ini, kita akan “belingsatan”, sengsara, merasa gelisah, dan hidup dalam tekanan. Bayangkan saja, hanya untuk membayar kredit mobil, maka banyak orang rela menggadaikan hidup untuk bekerja under pressure, siang-malam, dan lembur tanpa kenal waktu. Lelah dan celaka betul kehidupan seperti ini.

 

Maka, bersandarlah kepada Allah dan rida terhadap apa yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Niscaya Allah cukupkan kebutuhannya. Tanpa pernlu merasa disakiti, dizalimi, dan dibawah tekanan karena Allah- lah yang menjaga dan melengkapi kebutuhannya.

 

Ada seorang sahabat dari Asja’ yang menjadi tawanan perang. Kemudian, ayah dari sahabat ini mengadu kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, semua pasukan sudah pulang. Yang sakit juga sudah terlihat luka-lukanya. Ya, Rasulullah, yang syahid pun sudah kami kuburkan dan kami lihat pemakamannya. Namun, dimana anakku dimana ya rasulullah. Rasulullah saw kemudian menyuruhnya bersabar. Buah dari kesabarannya adalah anaknya kemudian pulang dalam kondisi baik-baik saja dan membawa rampasan perang.” (Tafsir Al-Samarqandi jilid 3 halaman 461).

 

Jadi dari asbabun nuzul ini, apapun situasi yang tengah kita hadapi, yang berada di luar jangkauan kepala kita; jangan sampai membuat kita hilang kesabaran dan berpersangka buruk pada Allah dan rasul-Nya. Jangan pula membuat skenario sendiri. Mengira-ngira apa yang bisa diperbuat, tetapi lupa bahwa sejatinya, pemilik segala keputusan yang akan berlaku di dunia ini hanyalah Allah Ta’ala. Bersabarlah dan ingatkanlah diri untuk senantiasa merasa cukup dengan adanya Allah dan ketetapan-Nya, dan perbanyaklah mengucapkan, “Hasbunallah wani’mal wakil”.

 

Ingatlah hadits ini untuk memperkuat ketawakalan:

 

“Andai saja kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki seperti burung-burung; yang pergi di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong kemudian kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (Riwayat Tirmidzi).

 

Mengapa Rasulullah saw mengandaikan dengan burung? Karena burung adalah mahluk Allah yang hatinya lembut. Maka, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menyapa para sahabat dan kaum mu’minin yang hatinya lembut agar senantiasa melihat bagaimana burung-burung menyerahkan urusan mereka kepada Allah Azza wa Jalla.

 

Ada pun makna tawakal menurut beberapa ulama, terkait dengan hadits ini adalah:

 

1. Menurut Al- Munawi

Makna hadits ini adalah burung yang pergi pagi dalam keadaan lapar kemudian pulang di sore hari dalam keadaan kenyang adalah untuk memberi tahu kita bahwa yang membuat kita memperoleh rezeki, sejatinya bukanlah ikhtiar yang kita lakukan. Namun, yang menentukan rezeki adalah Sang Maha pemberi rezeki, Allah Robbul Izzati.

 

Tawakal juga bukan menganggur dan bukan berarti santai. Akan tetapi, tetap harus menjalani usaha untuk sebuah sebab. Burung-burung juga melakukan usaha dengan pergi pagi dan pulang ketika sore. Namun, ketawakalan dari mahluk Allah inilah yang membuatnya memiliki rezeki yang mencukupi kebutuhannya. Meski tanpa akal dan sumber daya seperti yang dimiliki oleh manusia.

 

2. Menurut tafsir Jalalain, tawakal adalah barang siapa yang bertawakal kepada Allah dalam semua urusannya, maka Allah akan mencukupinya dengan izin-Nya.

 

Namun demikian, sekali lagi tawakal bukanlah tanpa usaha. Dan, usaha bukanlah satu-satunya jalan untuk mendapatkan hasil akhir. Karena, kekuasaan Allah dan ketawakalan kepada-Nya yang akan memberikan hasil terbaik untuk kita.

 

Sebuah kisah dari Abu Hasan Umarbin Wasil Al-Ambari, kiranya memberi gambaran kepada kita. Seorang yang bernama Sahlan bercerita bahwa dia masuk ke dalam sebuah kampung selama tujuh hari tanpa bekal makanan dan minuman. Namun, setiap kali dia butuh makan dan minum, semuanya selalu tersedia.

 

Kemudian beberapa waktu setelahnya, dia kembali memasuki kampung tersebut. Kali ini agak berbeda. Dia bertemu dengan seorang lelaki yang memberiku kantung uang dirham, tetapi anehnya ketika dia berjalan dan merogoh kantongnya, ternyata sudah tidak ada apa-apa. Sementara dia juga tidak mendapatkan makanan dan minuman yang biasanya tersedia. Tubuhnya pun semakin lelah dan tidak ada sedikit pun makanan.

 

Tak lama terdengar suara dari langit yang menyuruhnya untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kantong, niscaya rezekinya akan tersedia seperti biasa. Sahlan pun menyadari bahwa sepertinya ia ditegur akan “ketawakalannya” pada uang dirham yang diperolehnya. Saat itu, dia kemudian ingat bahwa di kantongnya masih ada dua dirham. Maka, ia pun segera mengeluarkan dan menyedekahkannya. Barulah setelah itu, nikmat makanan dan minuman yang biasa didapatkannya, tersedia kembali.

 

Dalam hidup, sebenarnya peristiwa semacam itu seringkali terjadi. Namun, kita salah bersandar. Ketika bekerja yang dikejar hanya uang atau, maka akan sangat lelah kehidupan ini dan rezeki dalam bentuk lainnya yang selama ini kita dapatkan pun menghilang.

 

3. Menurut Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, “Tawakal adalah sebab yang paling kuat bagi seorang hamba untuk menghadapi sesuatu yang berada di luar kemampuannya seperti bahaya, permusuhan. Orang yang sudah dicukupi dan dikindung Allah maka tidak ada bahaya yang mengancamnya kecuali apa yang bahaya yang biasa.”

 

4. Sementara, menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar jilid 10 halaman 7467, “Dia yang bertawakal kepada Allah dengan menyerah sebulat hati, yakin bahwa Allah tidak akan mengecewakannya; pendirian yang seperti itu membuat dia tidak pernah berputus asa terhadap rahmat Allah. Pengalaman manusia berkali-kali, hidup adalah pergantian antara susah dengan senang. Karena keyakinan yang demian teguh, maka pintu yang tertutup bagi orang lain maka bagi orang yang bertakwa menjadi terbuka. Perbendaharaan orang yang betawakal tidak akan dibiarkan Tuhan menjadi kering. Ketika dekat akan kering, datang saja bantuan baru yang tidak disangka-sangka.”

 

Inilah pentingnya bertawakal kepada Allah. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla terhadap apa pun yang akan terjadi, setelah berusaha sepenuh daya; dan merasa cukup bersama dengan apa yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Sikap ini akan membuat seseorang menyadari bahwa hidup sejatinya adalah permainan, pergantian antara susah dan senang yang harus disikapi dengan tawakal.

 

Bukan pada ikhtiar, fokus seorang muslim mengupayakan kebutuhan yang ada dalam kehidupan. Karena, sejatinya kemampuan yang digunakan pun adalah perbendaharaan Allah yang dipinjamkan kepadanya. Namun, tambatan terkuatnya adalah bagaimana rida terhadap apa pun yang Allah berikan kepadanya. Baik atau burukkah, kurang atau sesuai dengan ekspektasikah, tepat waktu atau harus bersabarkah; semuanya adalah hal terbaik yang Allah berikan dan kita merasa cukup dengan itu semua.

 

“Ya Allah, sesungguhnya hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanyalah kepada-Mu-lah aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali, hanya karena-Mu, aku memusuhi musuh-musuhmu. Ya, Allah sesungguhnya aku hanya berlindung kepada keagungan-Mu.” Laa haula walaa quwwata ilaabillahil aliyul adziim.

 

Sumber: https://www.panjimas.com/citizens/2022/09/16/kh-bachtiar-nasir-hamba-yang-merasa-cukup-bersama-allah-dan-dicukupi-allah/

Bagikan ke orang baik lainnya